[11:38,
12/10/2016] Sempatkan Baca Walau Sesaat
Saat SD, saya
tidak pernah tergeser dari peringkat 1 di kelas. Saya belajar, menalar,
menghitung, dan menghafal sampai larut malam demi mengejar deretan nilai tinggi
di lembar jawaban ulangan.
Kemudian,
saya mulai berpikir. Memangnya kenapa jika saya peringkat satu? Mengapa saya
perlu berbangga dengan itu? Mengapa pendidikan justru memunculkan kesombongan
pada diri seseorang?
Peringkat
satu hanya sebuah 'kasta' yang membuat seseorang terlihat lebih hebat, bukan
dorongan untuk membuatnya lebih bermartabat.
Peringkat
satu hanyalah sebuah penghargaan, bukan indikator seberapa baiknya seseorang.
Kami saling
bersaing, hasrat kami hanyalah membuktikan siapa yang lebih pintar dan lebih
bodoh.
Peringkat
bukanlah evaluasi dan "motivasi" diri. Jika iya, mengapa saya kecewa
jika prestasi saya tidak diumumkan pada semua orang? Sebenarnya saya ingin
mengetahui kualitas diri atau ingin dipuji?
Jika saya
mendapatkan peringkat pertama, saya mulai terdorong untuk terus
mempertahankannya. Di sisi lain, teman saya dapat peringkat bawah, seumur hidup
dia akan percaya bahwa dia tidak istimewa.
Itu sangat
tidak adil! Apakah Tuhan pernah menciptakan "produk gagal"?
Pendidikanlah yang justru membuatnya percaya bahwa dia adalah produk gagal!
Bagaimana
Anda bisa berharap anak yang dapat nilai di bawah standar akan tetap bisa
'menghargai' dirinya?
Kemudian,
saya tidak pernah peduli lagi peringkat berapa yang bakal saya duduki.
Sebab untuk
mampu menghargai diri sendiri, saya tidak perlu mengemis pengakuan dari sana
sini.
Saya tahu
siapa diri saya dan sejauh mana kemampuan saya.
Semua orang
berbeda, dan seberapa besar kemampuan saya tidak ada hubungannya dengan
'mengalahkan' mereka.
Saya tidak
lagi pusing ketika saya belum mampu memenuhi target nilai minimal, karena nilai
yang 'sesungguhnya' tidak semata-mata hanya terletak pada laporan formalitas
belaka.
Berapa juta
orang yang pernah sekolah? Berapa juta orang yang benar-benar bermoral?
Di SMP dan
terlebih di SMA, saya juga mulai berpikir; apa guna semua yang saya pelajari
mati-matian ini.
Saya mulai
gamang, di manakah letak kegunaan semua hafalan, jika tidak bisa menjaga
seseorang untuk membuang sampah pada tempatnya? Mengapa harus menghafal
undang-undang, jika hal itu tidak mampu mendorong seseorang untuk menaati
peraturan berkendara?
Apakah yang
salah dari pendidikan kewarganegaraan dan pancasila jika itu semua tidak mampu
menghentikan seseorang untuk bersikap intoleran?
Mengapa siswa
menyontek saat ujian padahal tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kejujuran?
Bahkan saat ulangan AGAMA pun kita melakukan kecurangan berjamaah!
Haruskah saya
mampu menghitung frekuensi kepakan sayap lebah dan menyelesaikan operasi
trigonometri?
Haruskah saya
mampu menghafal semua tenses bahasa Inggris?
Haruskah saya
bisa melukis?
Mengapa saya
dihukum jika saya tidak bisa mencapai "harapan" mereka?
Saya bertanya
pada orang-orang dewasa.
"Pelajaran
sekolah apa yang benar-benar nyata gunanya pada kalian?
"Beberapa
berguna, yang lainnya bahkan kami lupa apa saja yang pernah kami hafalkan,
hanya supaya kami bisa melewati ujian dan tidak perlu menerima hukuman."
Pikirkan
lebih dalam, saya sedang mencoba idealis atau realistis?
*)Dari
seorang siswi; Afi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar